Alkisah, hiduplah sepasang suami istri dengan kehidupan yang
memprihatinkan. Sang suami, hanyalah seorang pengangguran. Sedangkan
istri, pekerjaannya hanya satu, menjadi ibu rumah tangga.
Namun,
sisi keagamaan mereka pantas diacungi jempol. Rumahnya yang berdekatan
masjid, semakin mendukung proses beribadah kepada Allah Ta’ala. Shalat
wajib lima waktu, shalat rawatib yang menggiringnya, pun dengan shalat mustahab yang lainnya, shalat-shalat yang disunahkan mereka lakukan juga.
Apalagi
dengan sang suami, dengan pekerjaannya sebagai “pengangguran saleh”.
Intensitas pertemuannya dengan Sang Maha Esa semakin padat. Sepanjang
waktu hanya ia gunakan untuk beribadah kepadaNya. Selesai subuh, ia tak
akan beranjak dari masjid sebelum mentari terbit. Pun setelahnya, ketika
tiba waktu dhuha maka ia bergegas untuk kembali shalat sunah. Begitu
seterusnya dengan ashar, maghrib, dan isya’. Ia habiskan untuk beribadah
kepada Allah.
Tapi inilah dunia, segalanya
harus berperantara perkara dunia pula. Kita beribadah, maka kita perlu
makan sebagai sumber kekuatan. Kita shalat, maka kita butuh pakaian
sebagai penutup aurat. Ya, namanya saja makhluk dunia, ya pasti akan
membutuhkan sarana dan prasarana dunia.
Kira-kira, begitulah isi benak sang istri. Hingga suatu saat ia merajuk pada sang suami,
“Wahai
suamiku, engkau begitu taat terhadap Tuhanmu. Hari-hari engkau habiskan
untuk beribadah kepadaNya. Dari pagi hingga malam, bahkan hingga terbit
fajar lagi, engkau persembahkan hanya untukNya. Hingga aku pun,
terkadang merasa terabaikan,”
“Wahai istriku,
ada maksud apakah engkau berkata seperti itu. Bukankah manusia memang
diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Gerangan apa yang
membuatmu bersedu-sedan seperti demikian?” tanya suami keheranan.
“Bukan
apa suamiku, namun lihatlah baju gamisku yang mulai lapuk ini. Tidakkah
engkau sadar, dari hari pertama perkawinan kita, tak sehelaipun kain
lagi yang mampu kau berikan melainkan gamis yang mulai lapuk ini. Tak
pernah sekalipun aku meminta sesuatu darimu salama ini. Namun, tegakah
engkau melihat istrimu hanya berbalut sehelai kain lapuk yang telah
usang?” adu sang istri pada suaminya.
Merasa iba, sang suami balik bertanya, “Lalu apakah yang kau inginkan wahai istriku?”
“Wahai suamiku, kita telah begitu taat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Seluruh perintahnya, telah kita usahakan utuk ditunaikan. Segala
larangan pun juga sekuat tenaga telah kita jauhi. Oleh karena itu,
kiranya engkau sudi memintakan ganjaran, pahala balasan kepada Tuhanmu
atas ketaatan kita selama ini,” pinta sang istri.
Lantas,
sang suami pun berbalik arah menuju ambang pintu rumah mereka.
Melangkahkan kaki menapaki jalan setapak menuju masjid yang biasa ia
gunakan untuk beribadah. Sesampainya di sana, sang suami pun mulai
bermunajat kepada Allah,
“Ya Allah, sungguh…
hamba ikhlas akan segala takdirmu. Selama bertahun-tahun hamba dirundung
kefakiran, hamba tetap berusaha taat kepadaMu. Karena hamba yakin,
segala qadha dan qadarMu adalah yang terbaik. Namun, izinkan hamba untuk
mengadu kepadamu ya Allah. Bahwasannya istri hamba meminta sedikit saja
harta sebagai pahala balasan bagi kami untuk kami jadikan bekal di
dunia ini.”
Syahdan, tiba-tiba terdengar suara
berdebam dari arah belakang. Mendengar suara itu, sang suami lantas
keheranan dan mencoba untuk menengok suara apakah itu.
Ternyata, itu adalah sebuah sandal. Ya, hanya sebelah saja. “Sandal siapakah ini?” batin sang suami keheranan.
Setelah
dilihat secara seksama, keheranannya semakin menjadi-jadi. Betapa
tidak, sandal yang hanya sebelah saja itu ternyata terbuat dari emas
bertabur berlian di bagian atasnya. Ia heran, siapakah pemilik sandal
ini. Ia merasa, tak mungkin tetangganya memiliki sandal semewah ini.
Kalaupun ada, pastilah itu milik orang yang sangat kaya raya.
Ia lalu bergumam, “Ya Allah, sandal siapakah ini?”
Sontak terdengar hatif (suara tanpa rupa) berujar kepadanya,
“Wahai
fulan, sesungguhnya itu adalah sandal istrimu kelak di surga. Tuhanmu
telah menyegerakannya di dunia sebagai pahala balasan akan ketaatanmu.
Dan akitbat itu pula, tak kan ada lagi sandal pengganti bagi istrimu
kelak di surga. Itu disebabkan karena engkau telah memintanya di dunia.”
Mendengar
suara tersebut, sang suami lalu tertegun. Membayangkan tentang betapa
anehnya istrinya kelak di surga dengan memakai sandal ghanya sebelah
saja.
Menyadari hal itu, sang suami pun
berujar, “Ya Allah, ampunilah hambamu yang tak sabar akan pahala balasan
ini ya Allah. Hamba terlalu gegabah akan perkara duniawi. Hamba tidak
ikhlas dalam beribadah. Seakan, hamba adalah pekerja yang meminta gaji
dalam hal beribadah. Ampuni hamba ya Allah.”
Seketika
ia lalu melemparkan sandal emas tersebut ke langit. Dan benar, sandal
tersebut hilang dan tak jatuh kembali. Ia pun pulang dengan wajah
tertunduk.
Sesampainya di rumah, sang suamipun
mulai bercerita tentang kejadian yang baru saja ia alami. Tentang
munajatnya, tentang sandal emas, pun dengan hatif yang menerangkan ihwal jatuhnya sandal emas.
