Nampes adalah sebuah desa kecil di tengah hiruk pikuk kota Malang, atau tepatnya terletak di Kecamatan Singosari. Di Nampes inilah aku memulai perjalanan hidup yang sejauh ini (dan berharap seterusnya) cukup menyenangkan. Menjalani hari-hari bahagia di mana smartphone masih belum terlalu marak seperti sekarang ini.
Masa-masa indah saat kecil selalu terngiang di pikiranku ketika aku mulai lelah menjalani aktivitas yang semakin membosankan dan tidak terlalu penting. Kini, semua orang, termasuk teman-temanku ketika kecil sudah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, sudah sangat sulit bertemu dan bersatu dengan mereka kembali, menjelajah alam, atau sekedar melompat ke dalam air terjun yang curam menantang sekaligus mencintai alam indah di Nampes.
Kesibukan menjadi orang dewasa adalah suatu perjalan yang memang tak bisa dihindari lagi. Namun terkadang pikiranku melayang bersama kenangan indah ingin kembali ke masa di mana aku dan teman-teman tersenyum lepas, tidak menghiraukan apa yang dikatakan orang lain tentang apa yang kami lakukan.
Saat ini, aku masih mengingat betul bagaimana tempat bermain kami, di gedung sekolah tua yang angker, membuat tenda di pinggiran sungai dengan banyak ular, atau bermain di sawah mencari bekicot dan belut untuk dimakan beramai-ramai.
Bahkan belakangan ini aku selalu berpikir andaisaja teknologi modern tidak pernah muncul di bumi Indonesia ini. Pasti moral dan generasi remaja tidak seburuk sekarang. Berhubungan seks di usia dini sepertinya sudah menjadi trending dan gaya hidup bagi anak zaman sekarang.
Dan semua itu menurutku adalah dampak dari perkembangan teknologi yang semakin canggih. Kita sehari-hari dipertontonkan dengan tayangan televisi yang tidak mendidik dan cenderung memberikan contoh yang tidak baik terhadap generasi bangsa. Tak heran jika remaja zaman modern ini sudah banyak yang tidak bermoral.
Sepertinya sudah keluar topik. Kembali kepada ke topik awal. Selain memiliki banyak pemuda yang gemar berpetualang, Nampes memiliki keunggulan lain, yakni menjadi sebuah desa yang penuh dengan pemuda atau remaja yang semangat mencari ilmu agama. Suasana menjadi seperti desa santri ketika sore hari tiba, tak sedikit mereka yang berbondong-bondong dengan Al-Qur'an di dada mereka dan pergi ke rumah para alim untuk menimba ilmu.
Dari hampir semua kalangan, antara usia 7-30 tahun di desa ini masih menyempatkan diri untuk duduk sejenak di majelis-majelis pencari ilmu. Yang lebih hebat, tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang. Masjid atau mushala di Nampes tak pernah sepi dari jamaah Sholat. Bahkan di masjid juga tetap mengadakan pengajian rutin untuk menjaga keimanan warga dan untuk membentengi para pemuda agar bisa mengimbangi teknologi yang semakin pesat dengan ilmu agama sehingga tidak terjerumus dalam ueforia dunia modern.
Selamat bersinar matahari pagi di sawah nampes, dan selamat tinggal sementara untuk matahari senja yang juga menyentuh hatiku yang sunyi ini. Semoga tradisi di desa yang lestari ini bertahan dari generasi ke generasi dan menjadi cerita hangat bagi anak cucu kita. Salam semangat untuk para pembaca dan penulis, selamat membaca. “ Saat tua nanti kita berharap bisa menyeruput hangatnya kopi pagi buatan istri tercinta :)”.








