Orang yang mengatatakan 'Aku jatuh Cinta' sepertinya telah keliru karena ungkapan tersebut cenderung kebetulan, tanpa proses, usaha, bahkan lebih mengarah kepada keterpaksaan. Cinta yang sejati sebenarnya harus diusahakan dengan sungguh-sungguh oleh dua insan. Siapa yang ingin bercinta, hendaklah ia punya kemahiran. Cinta tidak akan dapat lahir tanpa kemahiran, karena kemahiran akan bisa menarik simpatik dan kekaguman yang mengantar lahirnya cinta.
Pertama, kedua insan akan merasakan ada atau tidaknya kedekatan antara mereka berdua. Dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan kesamaan latar belakang, sosial dan budaya yang memberikan dorongan cukup berpengaruh dengan proses lahirnya cinta. Oleh sebab itu, agama menganjurkan kita mempunyai kesamaan latar belakang, tingkat pendidikan, dan kedudukan sosial calon suami istri, dalam pakar hukum Islam hal ini diistilahkan sebagai Kafa'ah.
Jika fase pertama dilalui, maka keadaan ini akan meningkat pada apa yang dinamai 'pengungkapan diri' (self revelation), di masa masing-masing akan merasakan ketenangan dan rasa aman untuk berbicara tentang dirinya lebih dalam lagi, mengenai harapan, keinginan, cita-cita, hingga kekhawatirannya.

Fase berikutnya akan melahirkan 'saling ketergantungan' (mutual dependencies). Fase ini akan membuat masing-masing mengandalkan bantuan yang dicintai untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya karena dari dalam lubuk masing-masing sudah merasa memerlukan pasangannya dalam kegembiraan dan kesedihannya.
Disimpulkan, Memenuhi kebutuhan kekasih tanpa rasa cinta mendalam serta dorongan lubuk jiwa, maka seketika itu seseorang belum mencapai cinta sejati. Rasa suka terhadap seseorang tidak dapat dinamai sebagai 'Cinta' jika seseorang masih belum melalui keempat fase tersebut. Dan fase terakhir inilah yang di dalam Al Qur'an disebut dengan Mawaddah.
Hal ini diungkapkan dalam sebuah kutipan, "Tidak ada lelaki atau perempuan yang tidak memiliki potensi mencintai atau dicintai, yang ada hanyalah lelaki atau perempuan yang tidak pandai mengundang rasa cinta dan kagum orang lain."Sebelum mencapai puncak, cinta memiliki beberapa tahapan atau fase-fase yang harus dilalui.
Pertama, kedua insan akan merasakan ada atau tidaknya kedekatan antara mereka berdua. Dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan kesamaan latar belakang, sosial dan budaya yang memberikan dorongan cukup berpengaruh dengan proses lahirnya cinta. Oleh sebab itu, agama menganjurkan kita mempunyai kesamaan latar belakang, tingkat pendidikan, dan kedudukan sosial calon suami istri, dalam pakar hukum Islam hal ini diistilahkan sebagai Kafa'ah.
Jika fase pertama dilalui, maka keadaan ini akan meningkat pada apa yang dinamai 'pengungkapan diri' (self revelation), di masa masing-masing akan merasakan ketenangan dan rasa aman untuk berbicara tentang dirinya lebih dalam lagi, mengenai harapan, keinginan, cita-cita, hingga kekhawatirannya.

Fase berikutnya akan melahirkan 'saling ketergantungan' (mutual dependencies). Fase ini akan membuat masing-masing mengandalkan bantuan yang dicintai untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya karena dari dalam lubuk masing-masing sudah merasa memerlukan pasangannya dalam kegembiraan dan kesedihannya.
Jika seseorang telah memasuki fase ini, maka nasehat seorang ibu yang mengatakan, "Jangan sekali-kali menampakkan kesedihan pada saat suamimu bergembira dan jangan pula menampakkan kegembiraan di kala ia gundah," tidak akan berlaku lagi, meski mereka sudah berada di gerbang perkawinan. Fase ini akan membuat calong pasangan merasakan hal yang melegakan jika satu sama lain saling mengerti apa yang ada di pikiran mereka.Fase terakhir adalah pemenuhan kebutuhan pribadi kekasihnya, hal ini telah mencapai puncak bahwa seseorang akan mengorbankan selanya yang dimilikinya demi kebutuhan kekasihnya. Pengorbanan tersebut akan dilakukan dengan hati, sungguh tepat pandangan yang mengatakan bahwa, "Manusia mengalami cinta pada saat ia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional yang dicintainya dan pemenuhan juga merupakan kebutuhan emosional baginya."
Disimpulkan, Memenuhi kebutuhan kekasih tanpa rasa cinta mendalam serta dorongan lubuk jiwa, maka seketika itu seseorang belum mencapai cinta sejati. Rasa suka terhadap seseorang tidak dapat dinamai sebagai 'Cinta' jika seseorang masih belum melalui keempat fase tersebut. Dan fase terakhir inilah yang di dalam Al Qur'an disebut dengan Mawaddah.
