Sudah beberapa hari sejak pemilihan presiden 2019 dilaksanakan, aku pun sedang menikmati libur dari pekerjaanku sebagai buruh pabrik. Di sela kesenjangan waktuku inilah, akhirnya ada hal menarik yang aku lakukan, yaitu kembali bergumul dengan para pejuang cinta, yakni ibu-ibu pedesaan yang bekerja begitu keras demi memenuhi kebutuhan keluarga tercintanya.
Pagi ini aku rodok males kate budal nang tegal ngemes tebu, tak delok jam wes awan akupun budal dan njelalah ndek tegal wes dienteni emak emak. "sepurane mak, aku kawanen," gumamku. "Waduh mas pun wau ngenteni sampean tak kiro gak sido," demikian jawab si emak sambil tersenyum lebar" dan membuka obrolan santai ciri khas penduduk desa yang memang sangat ramah.
Ngobrol adalah hal yang mengasyikkan, apalagi sambil bekerja. Kami pun demikian, sambil mengguyurkan bahan-bahan kimia ke tebu (cikal bakal gula), sesekali kami mengobrol tentang kondisi pemilihan presiden (maklum, di mana-mana yang dibicarakan adalah pranowo dan jokoWhy).
Tak seperti kebanyakan obrolan tentang presiden yang sering aku dengar di kalangan terpelajar, yang selalu menyalahkan sana menyalahkan sini serta banyak sekali provokatif. Justru emak" ini menyikapinya dengan sangat bijak sekali. "Sopo ae presiden e, masalah sosial koyok wong cilik ndek ndeso seng iso nyelesekno yo guduk presiden mas, bahkan luwih cepet lek seng nangani iku tonggo dewe," demikian celetuk emak A.
"Lhayo mas, wong-wong podo ribut Pranowo JokoWhy, masingono lek utang yo nang tanggane, malah luweh enak gak usah prosedur proposal. Malah wingi cak Jono ngajokno duek nang pemerentah gawe nambani sikile seng diamputasi iku ae sampek pirang" ulan gak cair, malah akhire oleh bantuan teko kang Ali. Alhamdulillah saiki wes iso mlaku gawe sikil"an," demikian imbuh si Emak B.
Mendengar jawaban kedua emak itu pun aku kagum, apalagi saat mengetahui ternyata pilihan kedua emak ini berbeda. Mungkin mereka mempunyai pandangan yang berbeda terhadap pilihan, tapi mereka menyadari satu hal, bahwa tidak semua masalah sosial itu dapat diselesaikan presiden, terutama hal-hal kecil di pedesaan (yang justru masalah kecil inilah yang lebih banyak). Artinya, keterlibatan presiden itu hanyalah di beberapa bagian makro saja, sementara banyak hal kecil yang kita itu tidak harus berharap pada keputusan presiden.
Dari situ aku mulai berpikir, bahkan soal kesholehan presiden pun tak banyak berpengaruh dalam mengatasi kehidupan manusia. Seperti kalam salah seorang guru yang mengatakan, "Kita boleh boleh saja berharap presiden kita sholeh, tapi bukankan lebih baik kamu berharap kesholehan kolektif? kesholehan kita dan orang orang di sekitar kita, yang tentu mampu menjamin kehidupan sosial disekitarnya menjadi lebih baik?
Kekagumanku semakin menggila saat pulang dan mampir di salah satu rumah petani di sekitar tegal. Jawaban yang sama keluar dari lisan seorang tua yang tentu sudah pengalaman dalam hal pemilihan presiden. "Ndek kene sak keluarga iki kabeh yo nyoblos, tapi sopo ae seng dadi yo ditrimo ae le, wong kabeh iki yowes kehendak e gusti Allah. Molai jaman pak karno bien sampek saiki yo alhamdulillah keluargane mbah iki pancet dikek i rejeki karo pengeran. Persiden ngono gak pengaruh karo rejekine uwong. Akeh wong kepingin sogeh lek presiden e iku presiden e iki. Lek gak kerjo, tani, usaha seng temen yo pancet ae."
Akupun merasa bodoh, merasa pilu, melihat kehidupan mereka yang begitu sederhana tapi memiliki pemikiran yang sangat bijak. Terkadang kita yang hidup serba cukup, teknologi berada di genggaman, justru menjadi buta karena kepentingan dan kesombongan diri. Saat cerita ini ditulis, presiden pun masih menjadi misteri, entah itu Pranowo ataupun JokoWhy. Yang pasti, aku sudah tidak peduli dengan hasilnya, karena akan selalu ada cerita yang sama setiap lima tahun sekali, yaitu keributan.
Pagi ini aku rodok males kate budal nang tegal ngemes tebu, tak delok jam wes awan akupun budal dan njelalah ndek tegal wes dienteni emak emak. "sepurane mak, aku kawanen," gumamku. "Waduh mas pun wau ngenteni sampean tak kiro gak sido," demikian jawab si emak sambil tersenyum lebar" dan membuka obrolan santai ciri khas penduduk desa yang memang sangat ramah.
Ngobrol adalah hal yang mengasyikkan, apalagi sambil bekerja. Kami pun demikian, sambil mengguyurkan bahan-bahan kimia ke tebu (cikal bakal gula), sesekali kami mengobrol tentang kondisi pemilihan presiden (maklum, di mana-mana yang dibicarakan adalah pranowo dan jokoWhy).
Tak seperti kebanyakan obrolan tentang presiden yang sering aku dengar di kalangan terpelajar, yang selalu menyalahkan sana menyalahkan sini serta banyak sekali provokatif. Justru emak" ini menyikapinya dengan sangat bijak sekali. "Sopo ae presiden e, masalah sosial koyok wong cilik ndek ndeso seng iso nyelesekno yo guduk presiden mas, bahkan luwih cepet lek seng nangani iku tonggo dewe," demikian celetuk emak A.
"Lhayo mas, wong-wong podo ribut Pranowo JokoWhy, masingono lek utang yo nang tanggane, malah luweh enak gak usah prosedur proposal. Malah wingi cak Jono ngajokno duek nang pemerentah gawe nambani sikile seng diamputasi iku ae sampek pirang" ulan gak cair, malah akhire oleh bantuan teko kang Ali. Alhamdulillah saiki wes iso mlaku gawe sikil"an," demikian imbuh si Emak B.
Mendengar jawaban kedua emak itu pun aku kagum, apalagi saat mengetahui ternyata pilihan kedua emak ini berbeda. Mungkin mereka mempunyai pandangan yang berbeda terhadap pilihan, tapi mereka menyadari satu hal, bahwa tidak semua masalah sosial itu dapat diselesaikan presiden, terutama hal-hal kecil di pedesaan (yang justru masalah kecil inilah yang lebih banyak). Artinya, keterlibatan presiden itu hanyalah di beberapa bagian makro saja, sementara banyak hal kecil yang kita itu tidak harus berharap pada keputusan presiden.
Dari situ aku mulai berpikir, bahkan soal kesholehan presiden pun tak banyak berpengaruh dalam mengatasi kehidupan manusia. Seperti kalam salah seorang guru yang mengatakan, "Kita boleh boleh saja berharap presiden kita sholeh, tapi bukankan lebih baik kamu berharap kesholehan kolektif? kesholehan kita dan orang orang di sekitar kita, yang tentu mampu menjamin kehidupan sosial disekitarnya menjadi lebih baik?
Kekagumanku semakin menggila saat pulang dan mampir di salah satu rumah petani di sekitar tegal. Jawaban yang sama keluar dari lisan seorang tua yang tentu sudah pengalaman dalam hal pemilihan presiden. "Ndek kene sak keluarga iki kabeh yo nyoblos, tapi sopo ae seng dadi yo ditrimo ae le, wong kabeh iki yowes kehendak e gusti Allah. Molai jaman pak karno bien sampek saiki yo alhamdulillah keluargane mbah iki pancet dikek i rejeki karo pengeran. Persiden ngono gak pengaruh karo rejekine uwong. Akeh wong kepingin sogeh lek presiden e iku presiden e iki. Lek gak kerjo, tani, usaha seng temen yo pancet ae."
Akupun merasa bodoh, merasa pilu, melihat kehidupan mereka yang begitu sederhana tapi memiliki pemikiran yang sangat bijak. Terkadang kita yang hidup serba cukup, teknologi berada di genggaman, justru menjadi buta karena kepentingan dan kesombongan diri. Saat cerita ini ditulis, presiden pun masih menjadi misteri, entah itu Pranowo ataupun JokoWhy. Yang pasti, aku sudah tidak peduli dengan hasilnya, karena akan selalu ada cerita yang sama setiap lima tahun sekali, yaitu keributan.




