Terbenak bukan? dipikiran kalian. Bicara memang mudah, bertindaknya mustahil.
Ya, itu memang sangat sulit dilakukan karena sebagian dari
kita tidak punya niatan yang kuat dan istiqomah dalam membangun rumah tangga
yang Sakinah mawadah warahmah. Sebagai seorang Muslim, kita punya role model
rumah tangga sempurna yang diperankan oleh tokoh utama kehidupan ini, yakni
Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, harusnya kita tahu, setahu-tahunya, apa yang
menjadi problem rumah tangga dan apa solusi yang diambil Rosulullah dalam
mengatasi problem-problem itu. Kita bisa meniru akhlaq Rosulullah dalam setiap
hal, termasuk pula dalam rumah tangga. Dikisahkan, bahwa Rosulullah pernah ada
perasaan marah kepada Aisyah RA karena ia terus menerus cemburu kepada Khadijah
RA (yang saat itu sudah wafat).
Kemudian Rosulullah menyuruh Aisyah untuk mendekat dan menutup matanya. Ketika
Aisyah menurutinya, Rosulullah memeluk Aisyah sambil berkata. “Ya Khumairahku,
marahku telah pergi setelah aku memelukmu.”
Dari kisah itu, kita bisa mengambil banyak sekali pelajaran. Salah
satunya, marah tidak selalu dilampiaskan dengan kata yang keras, kasar, atau
bahkan sampai prilaku kekerasan fisik. Kemarahan Rosulullah diubah menjadi hal
yang tak terduga dan sangat romantis. Hal itu tentu tidak akan bisa dilakukan
jika kita enggan mengalah.
Dalam setiap hubungan pribadi di jangka waktu yang sangat lama,
kita akan dihadapkan dengan banyaknya persoalan” rumah tangga. Dan tentu akan
ada banyak keputusan siapa yang paling mau mengalah, bukan yang paling benar.
Mengalah bukan kalah, justru akan dapat mempertahankan sesuatu yang lebih
penting dari sebuah persoalan rumah tangga.
Ibarat sebuah kapal sedang mengarungi samudra yang begitu luas.
Jika cuaca bagus, perjalanan akan sangat menyenangkan. Tapi saat badai
tiba-tiba datang, berbagai bentuk pertahanan harus dilakukan agar kapal tidak
karam dan penumpang dapat selamat.
Bukan berarti mengekang, menikah adalah sebuah keterikatan. Bahwa
satu sama lain harus menyadari adanya tanggung jawab baru yang harus dilakukan.
Berani menikah, adalah berani mengalah pada waktu yang entah sampai kapan akan
kita miliki. Memang terdengar menyakitkan dan melelahkan, tapi bukankah
menyenangkan, menghabiskan waktu bersama keluarga kecil yang sedang mulai kita
bangun?
Mengalah juga bukan berarti kita pengecut. Justru dengan mengalah
akan menimbulkan rasa saling menghargai, karena mengalahkan ego bukanlah hal
yang mudah. Jika pasanganmu berani melakukannya, maka tak ada rasa yang pas
selain membalasnya dengan kasih dan sayang.
Penting pula menyadari, bahwa mengalah juga harus dilakukan dengan
tegas. Agar mengalah bukan menjadi senjata yang lemah, ada yang harus dilakukan
setelah pertikaian mulai mendingin. Meminta maaf terlebih dahulu sebelum
masalah terlihat jelas memang penting. Tapi sesudah itu lebih
penting, yaitu membicarakannya baik-baik dan mencari solusi bersama. Dengan
demikian, mengalah menjadi sebuah seni yang sangat indah dan penuh makna.
Sekian dulu.
